“Emergency Response EV harus kita berikan dan sosialisasikan kepada seluruh pihak, sehingga saat terjadi kecelakaan yang melibatkan kendaraan elektrifikasi tersebut, penanganannya jelas. Jangan kita tunggu sampai populasi mobil listrik sudah terlalu banyak, tapi kita tidak punya Emergency Response,” terang Wildan.
News.OLX – Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, sekarang kita sudah masuk ke tren electric vehicle (EV) dimana saat ini nyaris semua pabrikan berlomba-lomba menawarkan produk kendaraan listriknya, baik itu roda empat maupun roda dua, kendaraan penumpang maupun kendaraan komersial dengan segala keunggulannya masing-masing.
Di ajang pameran otomotif GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2023 yang berlangsung sejak 10 hingga 20 Agustus 2023 kemarin, teknologi EV menjadi highlight sekaligus penegasan bahwa tren ini memang sudah dimulai. Dari puluhan merek otomotif yang ikut pameran, rata-rata menampilkan model elektrifikasi berbagai jenis, mulai battery electric vehicle (BEV), hybrid electric vehicle (HEV), dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV).
Kecanggihan serta keunggulan teknologi elektrifikasi ini menjadikan minat masyarakat begitu besar untuk memiliki mobil listrik. Karena selain lebih efisien dalam urusan biaya operasional sehari-hari, memiliki mobil elektrifikasi juga sama dengan, ikut berkontribusi terhadap kelestarian alam.
Namun sejauh ini masyarakat hanya dicekoki dengan keunggulan dari kendaraan elektrifikasi tersebut, tanpa banyak yang menyadari bahwa dibalik keunggulannya, ada juga bahaya yang mengintai setiap saat.
Electric Vehicle atau kendaraan elektrifikasi, mau apapun jenisnya (BEV, HEV dan PHEV) merupakan salah satu benda yang cukup berbahaya. Bahkan menurut Ahmad Wildan, Investigator Senior Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), EV berada di urutan ke-9 daftar benda berbahaya.
“EV masuk dalam kategori benda berbahaya nomor 9, jadi harus ada Emergency Response, apa yang harus kita lakukan ketika terjadi kecelakaan yang melibatkan mobil listrik,” tegasnya dalam sebuah diskusi bersama Forum Wartawan Otomotif (FORWOT) yang berlangsung di Hotel Santika, BSD City, Serpong, Tangerang beberapa waktu lalu.
Menurutnya, edukasi terkait kendaraan listrik harus segera disosialisasikan, pabrikan tidak cuma berlomba-lomba mempromosikan keunggulan produk kendaraan listrik yang mereka tawarkan kepada konsumen, tetapi juga ada edukasi terkait bahaya yang ditimbulkan.
“Emergency Response EV harus kita berikan dan sosialisasikan kepada seluruh pihak, sehingga saat terjadi kecelakaan yang melibatkan kendaraan elektrifikasi tersebut, penanganannya jelas. Jangan kita tunggu sampai populasi mobil listrik sudah terlalu banyak, tapi kita tidak punya Emergency Response,” terang Wildan.
Problemnya saat ini adalah, pihak KNKT sendiri sejauh ini memang belum memiliki cara yang efektif untuk penanganan kecelakaan di mobil listrik.
“Memang masih jadi PR kita bersama untuk hal tersebut. Kita belum memahami bagaimana cara efektif untuk memahami risiko dari baterai lithium sebesar itu. Yang kita khawatirkan adalah ketika terjadi kecelakaan pada kendaraan listrik, kemudian terjadi deformasi, apakah ada kemungkinan kabel menyentuh struktur. Dan jika struktur tersebut tersentuh apakah ada dampaknya?” tanya Wildan.
Malfunction Baterai Lithium Pemicu Kebakaran di Mobil Listrik
Sejauh ini pihak pabrikan hanya melakukan langkah preventif dengan upaya pengujian baterai di sektor elektrikal maupun mekanikalnya saja. Dari segi elektrikal diuji dengan cara direndam sampai dibanting, sementara mekanikalnya diuji untuk melihat keamanan baterai saat melakukan pengisian daya. Namun hal ini tidak menjamin sepenuhnya mobil listrik akan aman 100 persen.
Kita sudah sering mendengar atau melihat berita di luar negeri ada mobil listrik yang meledak atau terbakar, baik itu saat sedang melakukan pengecasan atau ketika sedang berjalan.
Kasus terbakarnya mobil listrik kebanyakan dipicu dari baterai lithium yang digunakan.
“Jadi dalam satu boks baterai lithium itu terdapat ratusan sel baterai. Jika salah satunya mengalami malfunction, maka kemampuan baterai menerima daya tidak sampai 100 persen, mungkin hanya berkisar 70 persen saja. Jika hal ini terjadi bisa menimbulkan panas berlebih dan akan menjalar ke bagian lainnya dan pada akhirnya akan meledak,” terang Joko Kusnantoro, PLt Kasubdit Uji Tipe Bermotor, Kementerian Perhubungan RI di kesempatan yang sama.
Masalahnya adalah, penanganan mobil listrik tidak semudah menangani mobil konvensional yang terbakar. Api yang timbul dari kebakaran mobil listrik sangat sulit dipadamkan, menggunakan APAR sekalipun. Ini karena panas yang dihasilkannya sangat tinggi.
Menurut laporan US Fire Administration (USFA), suhu dari mobil listrik yang terbakar itu bisa mencapai 2.700 derajat celcius lebih.
Disebutkan Joko Kusnantoro, komponen utama yang menjaga keamanan baterai adalah BMS (Battery Management System), tergantung pabrikan mobil listrik menggunakan yang bagaimana, karena jelas ada harga ada kualitas.
“Semakin bagus kualitas BMS yang dipakai, maka akan lebih aman,” sambungnya.
BMS ada yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi malfunction di satu boks, ada juga yang bisa mendeteksi di setiap sel. Yang terbaik adalah jenis BMS yang bisa segera meng-cut off secara otomatis listrik yang mengalir saat mendeteksi permasalahan yang terjadi di mobil.
So, sebelum memutuskan untuk membeli mobil listrik, jadilah konsumen yang cerdas dengan cara mempelajari kelebihan dan kekurangannya serta mencari tahu penanganan mendasar dari masalah yang timbul di mobil listrik tersebut.
VKTR, APM Bus Listrik TransJakarta Punya Tim Emergency Response EV
Di sektor kendaraan komersial, TransJakarta merupakan salah satu jasa angkutan kota yang sudah banyak menggunakan armada bus listrik. Sebagai bentuk komitmen “Emergency Response” dari PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk selaku APM penyuplai bus listrik TransJakarta sudah menyiapkan tim reaksi cepat ketika terjadi kecelakaan.
“Kami sebagai apm, jika terjadi hal darurat, sudah ada tim yang standby di area tertentu. Ini amit-amit jika terjadi kecelakaan atau trouble, bisa segera kami atasi secepatnya. Ada juga petugas TransJakarta yang standby selama bus beroperasi. Dia dilatih untuk membantu mematikan arus. Walaupun di dalam sistem juga sudah ada untuk mematikan arus, tim ini bertugas untuk mematikan arus listrik secara manual jika terjadi malfunction,” terang Ludiatmo, CCO PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk.