Pemerintah semakin serius merealisasikan tren kendaraan listrik di Indonesia melalui dua landasan regulasi yang sudah dikeluarkan. Pertama adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019, tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.
Kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah (PP) terkait PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah), yang berlandaskan undang-undang PPN dan PPnBM. Semakin rendah emisi yang dihasilkan sebuah model kendaraan, maka pajaknya pun semakin kecil. Sementara untuk kendaraan listrik pajak PPnbM menjadi nol persen.
Lalu bagaimana peluang dan tantangan implikasi mobil listrik ini di Tanah Air?
Dr. Hari Setiapraja, ST, MEng. Kepala Balai Teknologi Termodinamika Motor dan Propulsi (BT2MP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam pemaparannya menyebutkan bahwa tantangan implementasi kendaraan listrik di Indonesia sangat besar dan tidak semudah yang dibayangkan.
Menurutnya teknologi mobil full listrik di Indonesia masih penuh dengan tantangan yang mengikutinya. Salah satunya adalah infrastruktur pendukung seperti ketersediaan charging station yang memadai serta kecukupan suplai listrik.
Masih sangat minimnya infrastruktur charging station yang tersedia serta besarnya daya yang dibutuhkan dalam proses pengisian baterai jadi pertimbangan utama konsumen dalam menentukan pilihannya untuk membeli mobil listrik (BEV).
Akan semakin menantang dengan kondisi lalu lintas di kota-kota besar yang cenderung macet. “Rata-rata mobil listrik memiliki kemampuan menjelajah hingga sejauh 300 km untuk sekali pengisian baterai sampai full, cukup jauh memang. Tapi kemampuan tersebut tidak menjadi patokan saat berhadapan dengan kondisi kemacetan seperti yang sering terjadi di Jakarta. Kondisi jalan raya tentu sangat berpengaruh signifikan terhadap konsumsi energi kendaraan listrik,” jelas Hari Setiapraja, Kamis (26/11/2020).
“Belum lagi kalau yang dihadapi medan jalan dengan banyak tanjakan, maka tenaga baterai akan lebih banyak tersedot. Kalau fasilitas station charging masih jarang tersedia, akan jadi masalah,” lanjut Hari.
Masalah lain datang saat banjir melanda, tentunya harus ada perhatian khusus untuk kondisi yang satu ini. Apalagi Jakarta merupakan Ibukota yang jadi langganan bencana banjir tahunan.
Harus ada pemahaman yang cukup baik tentang SOP kendaraan hybrid maupun listrik dari pengguna. Kemudian diikuti dengan regulasi yang lebih ketat untuk masalah penanganan bencana yang memang sudah sering terjadi.
Di tempat terpisah, Marketing Director PT Toyota Astra Motor (TAM), Anton Jimmi Suwandy saat peluncuran mobil listrik pertama Lexus, UX 300e menyebutkan bahwa meski sudah didesain sedemikian rupa untuk tahan terhadap air, tapi memang tidak disarankan bagi pemilik mobil listrik untuk menerjang genangan air.
Tantangan lain implementasi mobil listrik adalah sistem pengolahan limbah baterai dan sistem recycle. “Ketika populasinya masih sedikit tentu tidak menjadi masalah, lantas bagaimana jika sudah banyak beredar? Limbah ini nantinya akan dibuang kemana?” lanjut Hari Setiapraja.
Tapi yang menjadi persoalan terbesar adalah harga mobil listrik yang masih terlalu mahal, ini memang menjadi perhatian utama.
“Jika tujuan mendorong mobil listrik adalah untuk mereduksi produksi gas CO2, artinya harus lebih banyak konsumen yang menggunakan mobil ramah lingkungan. Melihat positioning harganya, kedua jenis kendaraan ini (hybrid dan plug-in hybrid) yang paling mungkin terjangkau oleh banyak orang. Untuk kendaraan jenis BEV harganya masih terlalu tinggi, jadi penyerapan pasarnya juga hanya untuk orang-orang tertentu saja,” menurut Dr. Ir. Riyanto, MSi. Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Kedua pemerhati mobil listrik ini pun sepakat bahwa tren elektrifikasi di Indonesia sebaiknya dilakukan secara step by step, tidak langsung lompat ke teknologi full listrik. Kendaraan hybrid dan plug-in hybrid yang paling tepat dikedepankan saat ini.
“Mobil listrik yang dijual di Indonesia saat ini harganya masih menyasar ke segmen atas, bukan menengah ke atas. Coba kalau ada produsen yang bikin mobil listrik ‘sejuta umat’, masuknya di segmen mobil MPV dengan harga tidak jauh dari 350 juta rupiah, mungkin ini menarik,” harapannya.
Menurut Riyanto, meski insentif yang diberikan untuk mobil jenis BEV saat ini sudah nol persen, hal itu tidak terlalu banyak membantu, harganya masih tetap mahal. Butuh insentif tambahan lainnya agar bisa kompetitif dengan kendaraan konvensional.
“Insentif pajak nol persen PPnBM mobil ramah lingkungan jenis plug-in hybrid baru berlaku di Oktober 2021. Untuk saat ini aturan tersebut belum berlaku, jadi kalau mau beli sebaiknya menunggu tahun 2021,” pungkasnya.